24 Okt 2013

Sehari "Menguasai" Kota Painan, Pesisir Selatan

    Sebuah daerah kecil di bibir pantai Sumatera Barat, terletak di Kabupaten Pesisir Selatan. Apa yang ada disana? Sebuah kota kecil yang menjadi tujuan perjalanan kami yang bernama Painan. Bukan sebuah daerah di China melainkan adalah ibukota dari Kabupaten Pesisir Selatan. Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Painan. Namun menurut masyarakat setempat, nama Painan berasal dari kata paik nian dalam bahasa Minang yang berarti "pahit sekali". Kata paik nian sendiri diperkirakan berasal dari ucapan masyarakat pendatang yang merasakan pahitnya kehidupan di daerah Painan. Mungkin itu pula yang menyebabkan kota ini sangat tenang cenderung sepi. Di saat weekend, kota ini akan tambah sepi. Anak-anak sekolah biasanya telah pulang ke daerah-daerah pinggiran Painan. Begitu pula dengan para pekerja kantoran yang sebagian besar berasal dari daerah lain.

Suasana Jalan di Painan hari Minggu pagi

    Suasana yang sama kami dapati pada saat mengunjungi kota ini pada hari Sabtu-Minggu. Kesan pertama adalah tenang.. bahkan terlalu tenang seperti kota mati. Kami sempat parno mungkin kota ini telah dikuasai makhluk asing atau terinfeksi suatu virus berbahaya (kebanyakan nonton film zombie). Pernah iseng, menghitung kendaraan yang berpapasan dengan mobil kami. Dan hasilnya dalam 30 menit tidak lebih dari 5 kendaraan yang kami temui. Walaupun begitu, Painan tetap menawan dengan alamnya yang elok. Setidaknya ada beberapa objek wisata yang patut dikunjungi, yaitu Bukik Langkisau, Pantai Carocok, Pulau Cingkuak dan Jembatan Akar.


Invasi dimulai dari sebuah perempatan yang cukup lengang

Dilanjutkan dengan "menduduki" Kantor Bupati Pesisir Selatan

Dan diakhiri dengan pose gagal Abbey Road-nya The Beatles

    Euforia kami "menguasai' kota ini tidak lama, pada saat perut nagih minta untuk diisi pada saat itulah baru terasa susahnya nyari warung makan yang buka pada weekend seperti ini. Apalagi pada malam hari, kami berputar-putar berharap menemukan makanan khas yang berbeda yang bisa kami cicip. Tetapi pada akhirnya kami harus menerima kenyataan untuk kembali ke selera asal yaitu pecel lele di depan pasar Painan. Tetapi apapun itu, sudah semestinya kita syukuri.

17 Okt 2013

Uji Nyali di Kelok Sembilan

    Kelok 9 adalah jalan yang sudah ada sejak zaman Belanda, berupa 9 tikungan tajam dengan jurang yang terjal pada kontur alam yang menurun di Kabupaten Limapuluh Koto, Sumatera Barat. Jalan ini meliuk melintasi Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Jika direntang lurus panjang Kelok Sembilan hanya 300 meter dengan lebar 5 meter dan tinggi sekitar 80 meter. Dari awal tikungan hingga ke bawah, ada jurang terjal diperkirakan tingginya 100 meter. Di sinilah kendaraan harus berhati-hati. Jika sang sopir lengah, maka nyawa taruhannya. Apalagi kalo anda baru belajar menyetir jangan coba-coba untuk melalui jalur ini.

 Seperti inilah penampakan dari kelok sembilan

    Berdasarkan catatan Kementerian PU, dalam sehari jalan ini dilalui lebih dari 10 ribu unit kendaraan dan pada saat libur atau perayaan hari besar meningkat 2 sampai 3 kali lipat. Namun, sejak dibangun Kelok Sembilan nyaris tak mengalami pelebaran berarti karena terkendala medan. Seiring peningkatan volume kendaraan yang melintas, kondisi jalan yang sempit dan terjal sering mengakibatkan kemacetan. Lebar jalan yang hanya 5 meter dan tikungannya yang tajam kerap menyulitkan kendaraan bermuatan besar melintas karena tidak kuat menanjak. Di kelok 9 ini semacam ada aturan tidak tertulis sesama pengguna kendaraan. Mereka yang turun dari atas harus mengalah agar yang menanjak diberikan kesempatan untuk melintas terlebih dahulu jika bertemu di tikungan. Jika Anda tidak mengikuti aturan itu, siap-siaplah Anda kena marah oleh sopir di jalanan tersebut.


Harus ekstra hati-hati pada saat melintasi setiap kelokan

    Kini di kelok sembilan ini, tengah dibangun sebuah jalan yang akan memangkas jumlah kelokan tersebut. Tiang-tiang raksasa mencakar langit bakal menjadi alternatif jalan baru yang lebih mudah bagi kendaraan yang melintas. Jalan baru ini seperti dua kali huruf S di atas jalan lama. Dengan adanya jalan baru ini, maka di kawasan lembah ini akan tersedia dua jalan untuk jalur masuk dan keluar dari Sumbar menuju Riau dan sebaliknya. Pembangunan jembatan layang Kelok 9 mulai dilakukan pada 2003. Pengerjaannya ditangani dalam dua tahapan pembangunan. Panjang keseluruhan jembatan dan jalan yang dibangun adalah 2.537 meter, terdiri dari enam jembatan dengan panjang 959 meter dan jalan penghubung sepanjang 1.537 meter. Tak ada campur tangan asing dalam pembangunan megaproyek ini dan telah menghabiskan dana lebih dari Rp540 miliar. Pada saat lebaran kemarin jembatan ini sudah dibuka dan bisa dilalui, tetapi entah mengapa saat ini satu bagian kembali ditutup dan hanya sebagian jembatan yang bisa dilalui.

 Mungkin perlu nama baru juga buat jalan ini karena keloknya hanya 2 kali huruf S, bagaimana kalau namanya Kelok 4? :)

8 Okt 2013

Fort Rotterdam, Benteng Indah di Bumi Anging Mamiri

    Megah dan indah, kesan pertama yang muncul ketika pertama kali menjejakkan kaki di komplek benteng Fort Rotterdam atau dulu bernama benteng Ujung Pandang. Tidak seperti benteng lain yang kebanyakan sudah berupa puing dan tidak terawat, benteng Fort Rotterdam ini tertata rapi dan kondisi bangunannya masih relatif bagus. Ada lagi yang menggelitik di perasaan saya adalah desain dan gaya bangunan Fort Rotterdam yang sangat kental nuansa Eropa, ternyata adalah peninggalan dari nenek moyang kita yaitu Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.

 Taman di tengah benteng

Pintu masuk Fort Rotterdam

     Benteng ini memiliki bentuk yang unik. Jika kita perhatikan di maket yang terdapat di museum La Galigo, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.
Untuk menghubungkan masing-masing bastion digunakan tembok kokoh dengan konstruksi batu padas. Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah antar bastion. Kita bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.

    Karena bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua. Bentuknya ini menjelaskan filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.

 Tembok penghubung antar bastion

    Namun pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo harus menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

 Arsitektur benteng sangat kental nuansa kolonial

 Deretan jendela benteng yang membentuk pola simetris

 Suasana indah dan asri

    Di kompleks Benteng Fort Rotterdam juga terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.

 Museum La Galigo

    Yang sedikit saya sayangkan adalah keberadaan panggung pertunjukan yang ada di tengah taman benteng Fort Rotterdam, entah ini hanya kebetulan ada pada saat saya berkunjung ke sana atau memang sengaja dibuat disana untuk mengadakan pertunjukan rutin. Dengan adanya panggung ini seakan "merusak" suasana dan tema Benteng yang megah dan indah menjadi semacam taman hiburan (IMHO). 

Panggung pergelaran dan renovasi benteng

Panggung di tengah taman yang agak "mengganggu"

 Sisi lain benteng yang belum direnovasi

Detail jendela benteng
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com